Kawasan yang saya ketahui sampai saat ini masih harus berperahu saat menyeberang sungai Bengawan Solo adalah di kawasan Ledok, Kec. Bojonegoro Kota (dekat rumah Mbah Ngah yang jadi langganan pijatnya Rama)
dan di daerah Banjarsari, Kec. Trucuk. Warga di kedua kawasan tersebut
setiap harinya memanfaatkan perahu untuk mengantarnya menuju ke
tempatnya beraktivitas.
Untuk membangun jembatan yang menghubungkan kawasan-kawasan yang terbelah Sungai Bengawan Solo
tersebut memang dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Dalam pandangan
awam saya, pemerintah sepertinya tidak mau ambil resiko mengeluarkan
dana karena dirasa secara ekonomi kurang bahkan tidak menguntungkan.
Jangankan untuk mengarah pada hal yang dianggap sepele secara ekonomi,
untuk membuat jalan yang menghubungkan Bojonegoro-Cepu dan
Bojonegoro-Ngawi menjadi lebih enak dilalui, minimal sebagaimana jalan
Bojonegoro-Surabaya saja seolah tak terpikirkan. Atau mungkin pemerintah
masih belum merasa berkepentingan secara ekonomi terhadap keberadaan
dan/atau kemudahan akses tersebut.
Analisa awam saya mengatakan bahwa tidak ada profit besar yang akan diperoleh ketika akses jalan arah barat Bojonegoro
tersebut diperbaiki. Sebagaimana analisa jalan tersebut, keberadaan
jembatan yang memudahkan akses warga dalam menyeberangi Sungai Bengawan
Solo juga masih berhitung untung rugi secara ekonomi. Padahal dalam
bayangan saya, ketika dalam sehari ada ratusan siswa yang antre untuk
menyeberang guna belajar ke sekolah-sekolah di seberang Bengawan Solo,
bukankah itu merupakan investasi jangka panjang yang akan membangun dan
menyejahterakan Bojonegoro. Ini sekedar analisa saya, mungkin pemerintah
punya analisa lain mengenai hal ini.